290 Kasus dengan Indikasi Femisida

Komnas Perempuan menemukan pada periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida.(Foto: Sekretariat Kabinet)

KOMISI Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan hasil pemantauan tentang pembunuhan perempuan berbasis gender atau femisida tahun 2024.

Pemantauan dilakukan melalui pemberitaan media online untuk periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024, dengan menyaring 33.225 berita dan ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida.

Bacaan Lainnya

Peluncuran ini merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP).

Hasil pemantauan femisida menunjukkan peristiwa paling banyak terjadi di Jawa Barat, dengan jenis femisida intim masih menempati tempat tertinggi dan terdapat isu yang memerlukan penelitian lebih lanjut, yaitu femisida terhadap perempuan yang dilacurkan (pedila), perempuan lansia, lilitan utang pinjol, dan beban berlapis istri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual yang berujung femisida.

Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan, seperti halnya laporan tahun sebelumnya, femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan suami mendominasi yang mencapai 26% (71 kasus), diikuti yang dilakukan oleh pacar mencapai 17% (47 kasus), oleh anggota keluarga sebesar 11 % (29 kasus), dan pengguna layanan seksual sebesar 6% (16 kasus).

Pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian ini umumnya menggunakan benda-benda yang ada di sekitar peristiwa, seperti batu, bambu, palu, balok, kain, sabuk atau tali, disusul dengan penggunaan kekuatan fisik atau digabungkan dengan penggunaan benda tumpul dan/atau senjata tajam yang menunjukkan tingkat sadistis pembunuhan.

Ciri-ciri khas lainnya dari femisida yang terpantau adalah tubuh atau organ seksual yang dirusak, penelanjangan, mutilasi, kekerasan seksual sebelum, selama dan sesudah kematian, disembunyikan sampai dengan dibakar.

“Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual. Kita harus hati-hati dengan narasi cemburu yang digunakan untuk menjustifikasi tindakan para pelaku femisida dan menempatkan korban sebagai pihak yang memprovokasi. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan menyakiti sampai membunuh orang lain,” tegas Siti Aminah Tardi.

Komnas Perempuan juga mencatatkan, sejumlah perkembangan pada 2024 seperti istilah femisida sudah lebih diterima oleh publik khususnya media massa, berbagai prakarsa untuk mengenali dan kampanye penghapusan femisida antara lain melalui kampanye di media sosial, permohonan wawancara dari wartawan dan sejumlah penelitian femisida di Indonesia.

Pada penanganan kasus femisida, tercatat inisiatif pengajuan restitusi bagi keluarga korban pada kasus femisida intim oleh RT oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Surabaya dan Amicus Curiae dari LBH Bandung dan LBH Fahmina dalam kasus femisida di Kuningan.

“Kami merekomendasikan ke depan pola pengajuan restitusi dalam kasus femisida intim di Surabaya diadopsi pada kasus lainnya,” tambah Siti Aminah.

Bertolak dari hasil-hasil pemantauan pemberitaan femisida tahun 2024, Komnas Perempuan, antara lain mendorong agar Biro Pusat Statistik (BPS) melakukan pendataan terpilah femisida dengan mengacu standar UNODC dan UN Women;

Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan membangun sistem data terpilah berbasis gender untuk kasus pembunuhan dan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Untuk memenuhi keadilan bagi korban, hakim perlu mengintegrasikan indikator femisida sebagai alasan pemberatan dalam putusan pengadilan dan aparat penegak hukum mengajukan restistusi atau ganti kerugian kepada pelaku untuk selanjutnya diberikan ke ahli waris korban.

Komnas Perempuan juga mendorong Kemen-PPPA agar membangun: (1) Sistem penilaian tingkat kebahayaan pada kasus KDRT/KDP untuk mencegah eskalasi kekerasan yang memburuk atau berakhir femisida; (2) Memfasilitasi fasilitas pemulihan bagi keluarga korban femisida.

(Andi)

Pos terkait