ANGGOTA Komisi IV DPR RI Daniel Johan meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Raja Juli Antoni menjelaskan secara rinci rencana pemanfaatan 20 juta hektare hutan sebagai konsep pangan, energi, dan air.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat sejak lama telah memanfaatkan hutan secara tradisional untuk menunjang kehidupan, seperti melalui hasil alam umbi-umbian.
“Terkait hal tersebut, kita perlu mendengarkan konsep detailnya. Apakah rencana ini akan membuka hutan secara besar-besaran yang berisiko menyebabkan deforestasi, ataukah melalui pendekatan seperti agroforestri, perhutanan sosial, atau jasa lingkungan?” kata Daniel.
Ia juga menyoroti target Indonesia untuk mencapai zero net sink pada tahun 2030, yang tampaknya bertentangan dengan wacana pemanfaatan 20 juta hektare lahan hutan.
“Pernyataan Menteri LHK ini perlu menjadi perhatian bersama. Bagaimana kita bisa mencapai zero net sink pada 2030 jika 20 juta hektare hutan akan dibuka?” tanyanya.
Daniel mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari rencana tersebut terhadap kelestarian ekosistem hutan.
Menurutnya, konversi hutan menjadi area pertanian, meski dapat meningkatkan produktivitas pangan, berisiko merusak keanekaragaman hayati, ekosistem alami, dan mempercepat perubahan iklim.
“Hutan memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan iklim, melindungi sumber daya air, dan menjadi habitat bagi spesies yang terancam punah. Semua ini harus dipertimbangkan,” ungkapnya.
Meski demikian, Daniel menyatakan dukungannya terhadap visi besar Presiden Prabowo terkait swasembada pangan.
Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut harus dijalankan dengan cermat dan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.
“Saya sangat mendukung kebijakan swasembada pangan Presiden Prabowo. Kita harus berdaulat dan mandiri dalam pangan, tetapi para pembantu Presiden harus memastikan rencana ini sejalan dengan kelestarian hutan,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Daniel menyarankan agar pemerintah memanfaatkan lahan pertanian yang saat ini belum diusahakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, terdapat sekitar 11,77 juta hektare lahan yang dapat dioptimalkan untuk mendukung swasembada pangan.
“Lahan ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian. Dengan begitu, wacana membuka 20 juta hektare hutan dapat dihindari,” tandasnya.
Sementara, anggota Komisi IV DPR RI Slamet menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekologi dalam implementasi program ini.
“Kementerian Kehutanan jangan ikut latah dan salah kaprah. Kontribusi kementerian ini dalam mendukung swasembada pangan harus memastikan bahwa hutan tetap utuh dan lestari. Jika hutan rusak, ketersediaan air untuk produksi pertanian bisa terganggu, dan itu akan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan awal program ini,” tegasnya.
Slamet mengingatkan, hutan adalah aset vital untuk keberlanjutan sumber daya alam Indonesia. Ia juga menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan lahan-lahan di luar kawasan hutan yang tidak produktif dan terbengkalai untuk dioptimalkan sebagai solusi bagi program swasembada pangan.
“Hutan adalah aset penting untuk keberlanjutan sumber daya alam kita. Masih banyak lahan di luar kawasan hutan yang tidak produktif dan terbengkalai yang bisa dioptimalkan untuk mendukung produksi dalam rangka swasembada pangan,” tutupnya.(hal/aha)
(Andi)