ZICO Leonard Djagardo Simanjuntak menguji pasal 5 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c UU Mata Uang. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai sebutan pecahan nominal uang rupiah dalam angka dan huruf.
Dalam sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), Putu Surya Permana Putra selaku kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (pemohon) menjelaskan bahwa kliennya merasa dirugikan secara konstitusional oleh ketentuan tersebut.
Surya menilai penggunaan angka nol yang berlebihan dalam nominal rupiah menimbulkan kerumitan dalam transaksi sehari-hari dan berisiko menyebabkan kesalahan dalam penghitungan.
“Sebagai seorang WNI tentunya menggunakan mata uang Rupiah sebagai mata yang sah yang diakui di negeri ini. Berbagai transaksi pun pemohon lakukan dengan harus memperhatikan dengan seksama dan teliti jumlah angka-angka nol yang terdapat dalam Rupiah agar tidak menimbulkan kesalahan hitung,” jelas Surya.
Putu menyebut banyaknya angka nol yang terdapat dalam mata uang rupiah sebagai hal yang tidak efisien mengingat banyak negara-negara di luar negeri yang memangkas angka nol dalam mata uang dan sekaligus menandakan betapa stabilnya perekonomian dalam negara tersebut.
Masalah lainnya yang pemohon alami adalah karena kebiasaan dalam menghitung denominasi yang besar tersebut ternyata berdampak pada meningkatnya rabun jauh yang disebabkan karena kelelahan visual dan ketegangan otot mata (digital eye straint) sebagai akibat dari angka-angka nol yang banyak tersebut pada penglihatan pemohon.
Hal tersebut diketahui pemohon ketika berkunjung ke Singapura dengan mata uang dollar Singapura yang tidak memiliki angka nol yang banyak seperti mata uang rupiah.
Pemohon sangat mudah untuk menghitung dan bertransaksi dengan mata uang dollar Singapura tersebut. Berbeda halnya dengan mata uang rupiah dengan denominasi yang besar kerap kali menyulitkan pemohon dalam bertransaksi karena harus hati-hati melihat jumlah angka nol di belakang.
Bahkan akibat denominasi besar tersebut, pemohon pernah mengalami salah transaksi karena angka nol yang begitu banyak.
“Angka nol yang besar sering kali penghitungan tidak efisien baik dalam bertransaksi sehari-hari. Dikarenakan yang menjadi objek pengujian ini merupakan pasal yang cukup sentral mengatur tentang mata uang rupiah sebagai nilai tukar yang sah diakui di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan pemohon meminta kebijaksanaan Mahkamah untuk mempertimbangkan pasal-pasal lainnya dalam UU Mata Uang atau menggaungkan kembali soal RUU Redenominasi lewat putusan Mahkamah Konstitusi melalui perkara ini,” jelasnya.
Dalam petitum, pemohon meminta MK menyatakan pasal 5 ayat (1) huruf c UU Mata Uang bertentangan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ciri umum rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat: c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagaimana nilai nominalnya yang telah disesuaikan dengan mengkonversi angka Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Pemohon juga meminta MK menyatakan pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang bertentangan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ciri umum rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat: c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagaimana nilai nominalnya yang telah disesuaikan dengan mengkonversi angka Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Menanggapi permohonan pemohon, Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan nasihat kepada Pemohon agar memikirkan kembali kedudukan hukum (legal standing) pemohon.
“Legal standing itu harus dipikirkan dengan serius soal kerugian atau potensi kerugian. Saya terus terang belum bisa teryakinkan dengan argumentasi legal standing itu, yang aktualnya saja belum teryakinkan apalagi yang potensialnya. Oleh karena itu, harus dicarikan argumentasi yang kuat untuk menjelaskan kerugian, setidak-tidaknya kerugian potensial selama kalau uang itu tidak dikurangi atau dihilangkan nolnya tiga,” kata Saldi.
Saldi mengatakan, pemohon diberi waktu untuk memperbaiki permohonan 14 hari. Perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Senin (5/5/2025).(ua/nr)
(Andi)