PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberlakuan norma mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden masih menuai sejumlah pertanyaan di kalangan masyarakat.
Salah satu pertanyaan yang kerap ditanyakan adalah alasan mengapa MK ‘berbalik arah’ dalam memutus perkara pengujian pasal 222 UU Pemilu tersebut.
Padahal 33 perkara sebelumnya harus kandas berujung dengan putusan ditolak atau tidak dapat diterima. Namun, MK mengabulkan permohonan dari empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Bagi Hakim Konstitusi Arsul Sani, perubahan putusan sebuah lembaga peradilan tersebut bukanlah sebuah keanehan.
Artinya, pergeseran atau perubahan putusan maupun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas sebuah perkara sangat dimungkinkan terjadi.
Justru dalam perspektif peradilan konstitusi, perubahan pendapat atau pandangan adalah sebuah keniscayaan dalam sejarah atau perjalanan lembaga peradilan konstitusi.
“Kalau kita melihat putusan dari US Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) yang juga berfungsi sebagai lembaga peradilan konstitusi di Amerika Serikat dalam soal hukuman mati itu juga berubah,” ujar Arsul mencontohkan.
Arsul menyebut perkara Furman vs Georgia yang terjadi pada 1972, Mahkamah Agung AS menyatakan memutus undang-undang yang mengatur hukuman mati di negara-negara bagian AS adalah inkonstitusional.
Hal tersebut karena bertentangan dengan amandemen ke-8 konstitusi Amerika Serikat yang melarang segala jenis bentuk hukuman, termasuk hukuman mati, sebagai bentuk hukum yang bersifat cruel and unusual.
Akan tetapi, pada 1976 dalam kasus Gregg vs Georgia, Mahkamah Agung AS justru berubah pendapat dan memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan Amandemen ke-8 dan Amendemen ke-14 Konstitusi AS.
Selain itu, Arsul juga mencontohkan kasus yang terjadi di Australia. Ia menyebut Mabo Case yang diperiksa oleh The High Court of Australia mengenai hak ulayat Suku Aborigin.
The High Court of Australia sudah berabad-abad memegang prinsip terra nullius atau prinsip tanah kosong yang diakui hukum internasional. Akibatnya indegenious people Australia atau Suku Aborigin tidak memiliki hak ulayat.
“Pada tahun 1990, ketika saya bekerja menjadi clerk hukum di sebuah law firm di Australia, The High Court of Australia akhirnya memutus yang putusannya adalah mengakui hak ulayat indegenious people of Australia. Ini artinya sebuah prinsip yang sudah berabad-abad saja bisa berubah. Maka, bukan hal yang aneh jika Mahkamah Konstitusi berubah dari 33 putusan yang telah diputuskan,” urai Arsul.
Kemudian, Arsul menegaskan meski pada akhirnya MK memutuskan untuk mengabulkan perkara yang diajukan oleh para mahasiswa, namun baginya, Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, juga merupakan putusan atas empat perkara yang diperiksa bersamaan mengenai uji materiil presidential threshold.
“Meskipun tiga perkara lain di-NO-kan, namun hemat saya, secara pribadi saya berpendapat putusan itu adalah putusan atas empat perkara permohonan yang terkait presidential threshold,” ungkap Arsul.
Dalam pertimbangan hukum perkara-perkara sebelumnya, MK berpendapat ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).
Ia menilai dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK tetap berpendapat hal tersebut sebagai open legal policy.
“Hanya terhadap norma pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu sebagai open legal policy dinilai MK melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, ketidakadilan yang intolerable. MK juga menyatakan bertentangan dengan hak politik warga negara dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu, MK juga melihat proses Pilpres 2014, Pilpres 2019,” tuturnya.
Tak hanya itu, Arsul menjelaskan pasal 222 UU Pemilu yang sudah diuji sebanyak 33 kali oleh warga negara dinilai MK memang merupakan pasal yang bermasalah.
“Ketika sebuah norma undang-undang diuji sebanyak 33 kali maka memang norma undang-undang bagi masyarakat luas khususnya masyarakat sipil tentu juga para akademisi juga bermasalah, MK harus mengkaji kembali posisi-posisinya setelah melihat realitas itu,” tandasnya.(lap)
(Andi)