Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Aksi Terorisme di Tanah Air

BANJARMASIN – Dipenghujung tahun 2021, warga Kalsel dikejutkan dengan kabar ditangkapnya dua terduga teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel), SU dan MNR oleh Densus 88 Antiteror Polri, Rabu (22/12).

MNR Diduga terlibat sebuah organisasi terlarang bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan di Bareskrim Polri, menjelaskan MNR dalam pemeriksaan ikut melakukan pembahasan terkait dengan rencana pembelian senjata dan persiapan-persiapan pelatihan fisik.

Sementara SU berperan dalam pengadaan kajian-kajian secara daring melalui Zoom Meeting. Ia juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan video-video pelatihan fisik, pelatihan militer, hingga pelatihan menembak untuk menarik orang bergabung dengan terorisme jaringan JAD tersebut.

Lantas, apa sebenarnya Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sehingga menyeret SU dan MNR berurusan dengan Densus 88 Mabes Polri. JAD adalah organisasi terorisme yang berkiblat pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pola serangan JAD cenderung acak. JAD menyasar publikasi dalam aksinya.

Berdasar sejarahnya, JAD terbentuk atas inisiatif Aman Abdurrahman di Nusakambangan pada medio 2014. Kala itu Aman memanggil orang dekatnya, Marwan alias Abu Musa dan Zainal Anshori ke Nusakambangan.

Di sana, Aman menyampaikan niat membentuk Khilafah Islamiyah. Tujuannya untuk memfasilitasi orang-orang Indonesia yang ingin pergi berperang ke Suriah dan mendukung ISIS. Utamanya, mereka yang telah berbaiat pada pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi.

“Sejak didirikan oleh Al Baghdadi pada 2014 di Suriah dan Irak, paham ISIS menyebar ke banyak belahan negara, termasuk Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan awalnya paham ini masuk melalui jaringan internet berupa berita, artikel, hingga video. Salah satu orang yang paling getol menyebarkan paham ISIS di Indonesia ialah Aman Abdurrahman alias Oman Rochman. Pada awal Januari 2014, Aman berbaiat kepada ISIS dan memerintahkan pengiriman pengikutnya ke sana,” tulis Nuria Reny Hariyati dan Hespi Septiana dalam buku Radikalisme dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis (2019).

Setelahnya, kedua orang terdekat Aman diminta mengurus suatu organisasi yang dapat menjadi wadah pendudung gerakan khilafah di Indonesia. Aman menyadari kekuatan jemaah pengikut dan pendukung ideologi khilafah dan ISIS cukup banyak di Nusantara.

Gambaran itu dilihat dari banyaknya pendukung ISIS di luar penjara yang masih berkeliaran. Nama JAD muncul dari Marwan pada Agustus 2014. Selang dua bulan, Zainal Anshori dan Marwan membentuk struktur organisasi.

Dalam konteks itu Marwan ditunjuk sebagai orang nomor dua, sesudah Aman Abdurrahman di pucuk kepemimpinan. “Mereka dilaporkan telah menunjuk amir atau perwakilan di setiap wilayah hingga sempat melakukan pertemuan untuk memimpin dan mengendalikan aktivitas lebih dari 1.200 pengikut JAD di seluruh Indonesia. Dalam hal ini, Zainal Anshori telah ditunjuk sebagai amir dari JAD untuk wilayah Provinsi Jawa Timur,” ungkap Poltak Partogi Nainggolan dalam buku Kekhalifahan Isis di Asia Tenggara (2019).

Marwan yang jadi orang kuat kedua di JAD kemudian menunjuk Zainal Anshori untuk menggantikan perannya sebagai operator lapangan. Pergantian itu karena Marwan sendiri akan berangkat dan melakukan jihad ke Suriah.

Zainal Anshori perlahan-lahan menjadi ketua JAD. Dalam kepemimpinannya, Zainal Anshori banyak memerintah para amir di lapangan untuk melaksanakan kegiatan tauhid dan hijrah.

Serangkaian peristiwa itu dikenang lewat bom bunuh diri di Thamrin, serangan bom di Samarinda, serangan Mapolda Jawa Barat dengan bom yang meledak di Cicendo, dan bom bunuh diri di Kampung Melayu.

Sejak 2015, tercatat lebih dari seribu teroris ditangkap di Indonesia. Lebih dari 95 persen adalah pendukung ISIS.

Pola pergerakan kelompok radikal itu mulai acak-acakan semenjak pemerintah Indonesia menerapkan Undang-Udang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Sejak itu pemerintah menetapkan organisasi pendukung ISIS di Indonesia, yaitu JAD, sebagai organisasi terlarang.

“Represi itu membuat para pendukung ISIS mengubah strategi dari jihad tanzim, jihad melalui organisasi seperti JAD, menjadi jihad fardiyah atau jihad individu. Beberapa kejadian terorisme oleh sel-sel ISIS yang menjadi perhatian polisi antara lain kasus bom Sibolga pada Maret 2019, yang melibatkan sel pimpinan Abu Hamzah, dan penusukan Wiranto pada Oktober 2019 di Banten,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Taktik Baru Terorisme: Sel dan Musuh Jauh (2019).

Perubahan itu membuat JAD bekerja dalam sebuah kerahasiaan ketat. JAD membangun kelompok-kelompok kecil yang anggotanya terbatas, mulai dari dua atau lima orang.

Mereka juga memutus koneksi dengan kelompok-kelompok lain. Cara lama ini ternyata cukup efektif untuk menghindari sergapan aparat keamanan.

Misalnya, ketika satu kelompok tertangkap, penangkapan tak berlanjut ke kelompok lainnya. Karena itu, kelompok lain bisa melanjutkan serangan tanpa harus terpecah fokus untuk bersembunyi.

Strategi itu dipelajari banyak kelompok pendukung ISIS dari kejadian-kejadian teror yang sebelumnya terjadi di Indonesia. Mereka belajar betul, serangan dengan organisasi yang terstruktur akan lebih mudah dilumpuhkan.

Contoh paling nyata adalah dari kehancuran Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Kelompok itu tak berkutik ketika para pemimpinnya, termasuk Abu Bakar Ba’asyir ditangkap pada 2010.

“Konsep jihad fardiyah diperkenalkan tokoh Al-Qaidah asal Suriah, Abu Musab al-Suri, dalam bukunya, Dakwah Mugowamah-edisi Indonesia beredar pada 2007. Al-Suri menulis bahwa konsep jihad tanzim sudah kurang relevan dari segi keamanan dan sebaiknya berbagai gerakan jihad bertransformasi menjadi sel-sel otonom. Menurut dia, ketika satu sel yang melakukan serangan teror tertangkap, sel lain masih aktif dan bisa terus melakukan serangan,” tutup laporan tersebut.

(NET/MMO)