JAKARTA – Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraeni mengungkapkan sejumlah penyebab turunnya partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar pada 27 November 2024 lalu.
Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat jenuh dengan kontestasi politik yang sangat dekat, antara Pilkada dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Intensitas aktivitas politik yang tinggi itu menimbulkan kelelahan politik, kelelahan pemilih, dan kelelahan elektoral yang mengurangi semangat dan kemauan mereka untuk berpartisipasi di Pilkada,” kata Titi.
Ia menjelaskan bahwa secara hitungan rata-rata nasional, angka pengguna hak pilih pada Pilkada berada di bawah 70 persen, jauh di bawah angka pengguna hak pilih Pemilu serentak yang berada di atas angka 80 persen.
Menurut Titi, hal itu menandakan terjadinya replikasi dan ketiadaan gagasan para calon untuk membangun daerahnya, sehingga membuat masyarakat bingung karena sulit membedakan antara kontestasi lokal kedaerahan dan nasional.
“Karena pemilih juga tidak melihat pembeda yang cukup memadai atau tidak melihat adanya pembeda yang signifikan antara kontestasi Pilpres dan kontestasi Pilkada. Itu membuat mereka merasa terjadi pengulangan-pengulangan yang tidak membuat mereka terdorong atau bersemangat dan ingin menggunakan hak pilih di Pilkada,” ujarnya.
Ketiadaan gagasan dari para calon di Pilkada 2024 dapat dilihat pada debat kandidat. Titi menegaskan bahwa ide-ide yang disampaikan para paslon Pilkada lebih membawa narasi ketika Pilpres ketimbang ide-ide kedaerahan.
“Apalagi kita lihat di debat-debat, narasi atau program-program yang disampaikan oleh para pasangan calon lebih banyak mereplikasi narasi-narasi ketika Pilpres ketimbang menyampaikan penyelesaian persoalan-persoalan konkret atau persoalan-persoalan nyata yang dihadapi di daerah,” jelasnya.
Senada, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya mencatat sejumlah penyebab meningkatnya angka golput, pada Pilkada 2024.
Beberapa penyebab itu di antaranya kejenuhan yang dialami publik karena jarak Pilkada yang berdekatan dengan Pileg dan Pilpres.
Selain itu, ada faktor cuaca di sebagian daerah yang terpantau buruk saat Pilkada berlangsung. “Karena faktor administratif, faktor ideologis, faktor teknis ya,” katanya.
Meski begitu, Bima menjelaskan bahwa rendahnya partisipasi pemilih tak mempengaruhi legitimasi hasil Pemilu. Namun justru publik perlu menantikan legitimasi para kepala daerah terpilih melalui kinerjanya.
“Nah sekarang publik menunggu bagi para kepala daerah terpilih ini untuk menunjukkan legitimasinya melalui kinerjanya, dan itu akan kita awasi bersama-sama dengan pemerintah,” terangnya.
(Andi/nu)