Pilkada untuk Siapa?

Pemungutan suara Pilkada Serentak 2024.(Foto: NU Online)

JARINGAN Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, dengan berbekal warisan kebijakan di pemerintahan sebelumnya, serta berbagai peraturan perundang-undangan, pemerintahan yang baru mendapatkan kemudahan untuk meluaskan bisnis ekstraktif, khususnya tambang, atas nama transisi energi.

Warisan kebijakan pertama dengan daya rusak paling masif adalah Omnibus Law yang diselesaikan oleh DPR dan pemerintah hanya dalam waktu 100 hari kerja.

Bacaan Lainnya

Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sebagai inkonstitusional bersyarat karena bertentangan dengan UUD 1945.

Namun alih-alih melakukan perbaikan, Presiden dan DPR justru membangkang dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan darurat dan ketidakpastian hukum.

DPR kemudian menetapkan Perpu Cipta Kerja tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga melakukan dua kali revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Yang pertama melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 dan kedua melalui UU Cipta Kerja. Dari seluruh perubahan ini, setidaknya ada lima isu krusial yang harus diperhatikan:

1. Kewenangan penerbitan izin yang seluruhnya berada di level pemerintah pusat, kecuali untuk pertambangan pasir dan batu

2. IUPK sebagai kelanjutan Kontrak Karya (KK) tambang mineral maupun PKP2B (batubara)

3. Semakin lebarnya ruang kriminalisasi warga pemilik lahan dan pejuang lingkungan hidup

4. Jaminan royalti 0 persen bagi perusahaan yang dapat meningkatkan nilai tambah batubara

5. Penentuan batas WIUP hanya dilihat dari ketersediaan data cadangan, status wilayah, dan rencana pengelolaan, tanpa memasukkan kriteria kondisi lingkungan dan kepadatan penduduk.

Pada tahun 2022, pemerintahan Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Melalui peraturan tersebut, pemerintah provinsi memiliki diperbolehkan untuk mengeluarkan izin-izin tambang seperti IUP, SIPB, IPR, dan lain-lain.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa pemerintah provinsi merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sehingga, semangat desentralisasi, dan pemindahan kewenangan tetap tidak terlepas dari pengaruh pemerintah pusat.

Pemerintahan Jokowi juga merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi pada 17 September 2014.

Undang-undang ini mencabut undang-undang yang telah ada sebelumnya mengenai panas bumi, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

Hal yang paling krusial dari undang-undang terbaru tersebut adalah dikeluarkannya usaha panas bumi dari kategori industri pertambangan sehingga upaya ekstraksi panas bumi dapat dilakukan di dalam kawasan hutan konservasi.

Berkaca pada seluruh agenda, kebijakan, dan produk hukum yang ada, yang memangkas habis kewenangan pemerintah daerah untuk dialihkan ke pemerintah pusat, maka agenda pengerukan sumber daya alam besar-besaran dapat dengan mudah dilancarkan. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang paling berkepentingan terhadap pilkada?

Poin-poin Sikap Jatam dan ICW:

Pertama, pilkada hanya sebuah formalitas demokrasi untuk melancarkan agenda-agenda penguasa merangkap pebisnis ekstraktif. Para konglomerat yang memiliki kekuatan finansial sangat besar, yang telah merapat kepada pemerintah, akan memiliki pengaruh politik besar untuk mengendalikan distribusi kekayaan sumber energi Indonesia.

Mereka juga dapat mengendalikan hasil pemilihan seperti yang dipertontonkan saat Pilpres 2024 lalu. Fenomena ini mencederai prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi dan representasi yang adil bagi seluruh rakyat.

Kedua, politik uang menjadi salah satu alat utama yang digunakan oleh oligarki untuk memenangkan pemilihan. Calon-calon yang didukung oleh konglomerat seringkali menggunakan dana besar untuk membeli suara pemilih, membiayai kampanye yang mewah, dan mempengaruhi media.

Praktik ini tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga menciptakan ketergantungan antara calon terpilih dan para penyandang dana mereka, yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan publik.

Ketiga, dominasi oligarki ekstraktif dalam politik elektoral memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi. Kebijakan yang dihasilkan oleh para pemimpin yang terpilih dengan dukungan oligarki cenderung menguntungkan kelompok kaya dan berkuasa, sementara masyarakat luas tidak mendapatkan manfaat yang adil.

Ini dapat dihat dalam berbagai kebijakan ekstraktif yang mendukung eksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya atas nama transisi energi dan hilirisasi, namun mengancam keselamatan rakyat.

Keempat, keterlibatan oligarki dalam politik elektoral juga menghambat reformasi yang diperlukan untuk menciptakan demokrasi yang lebih adil dan transparan. Para konglomerat ekstraktif memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka, sehingga mereka cenderung menolak perubahan yang dapat mengurangi kekuasaan dan pengaruh mereka.

Hal ini mengakibatkan stagnasi dalam upaya untuk memperbaiki sistem politik demokrasi. Alih-alih menciptakan dinasti.

(Andi)

Pos terkait