MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar Sidang Pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati Barito Utara Tahun 2024, Kamis (8/5/2025).
Sidang lanjutan dari Perkara Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini dilaksanakan Panel Hakim 1 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.
Pada sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon, termohon, dan pihak terkait ini, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Nomor Urut 01 Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo (pemohon) menghadirkan tiga orang saksi, yaitu Santi Parida Dewi, Lala Mariska, dan Indra Tamara, serta Aswanto sebagai ahli.
Sementara, KPU Kabupaten Barito Utara (termohon) menghadirkan Roya Izmi Fitrianti dan Paizal Rahman yang merupakan Anggota KPU Barito Utara.
Sedangkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Barito Utara Nomor Urut 02 Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya (pihak terkait) mendatangkan Topo Santoso dan Radian Syam sebagai ahli serta Edi Rahman dan Maluana Husada sebagai saksi.
Santi Parida Dewi selaku saksi dari lemohon mengungkapkan dirinya adalah pemilih di TPS 01 Melayu.
Jauh sebelum dilakukan pemilihan, pada 20–24 Desember dirinya dihubungi tim Paslon 02 (pihak terkait) untuk menyerahkan KTP.
Pada 24 Desember 2024, ia beserta suami diminta datang ke kediaman Ketua DPR Barito Utara. Di tempat tersebut, ia dan suami beserta satu anaknya (diwakilkan) mendapatkan tiga amplop yang berisikan uang sejumlah Rp satu juta pada setiap amplopnya.
“Saat itu dibilang, seandainya terjadi PSU maka kita lanjut (uangnya) masih ada tambahan. Kalau tidak, anggap ini sedekah. Lalu pada 28 Februari 2025, saya kembali dihubungi lagi dan diajak ke rumah orang tua Paslon 02. Di sana ada 30 orang dan saya terima 3 amplop, yang mana satu amplop isinya Rp 5 juta. Lalu pada 14 Maret 2025, saya terima lagi uang Rp 10 juta untuk satu orang dan saya mencoblos pada 22 Maret 2025,” cerita Parida.
Sementara itu, Lala Mariska yang merupakan satu dari sembilan orang yang diamankan petugas kepolisian pada 14 Maret 2025 karena diduga terlibat membagikan uang dari Paslon 02 memberikan kesaksian.
Ia mengaku mengikuti briefing untuk diberikan arahan atas tugas yang akan dijalankan pada 14 Maret 2025. Ia bertugas untuk menggeledah atau memastikan pemilih yang akan hadir pada waktu tersebut tidak membawa barang-barang yang mencurigakan.
“Pada 14 Maret 2025 saya menggeledah pemilih dan kalau bawa tas, kamera, dan barang-barang maka harus ditempatkan/disimpan di meja yang disediakan. Saya mendapatkan jatah 72 orang, tetapi yang datang baru 50 orang. Tapi kemudian terjadi penggerebekan oleh warga dan kepolisian Barito Utara dan di sana ditemukan uang Rp 250 juta, surat suara berspesimen Paslon 02, dan sudah ada 50 orang yang dapat uang Rp 10 juta per orang. Uangnya tidak diamplopin. Tadinya terkait tugas ini, saya dijanjikan uang, nanti ada aja gitu katanya. Namun sampai sekarang tidak ada. Saat itu saya diamankan, jadi saya tidak tahu yang terjadi pada 22 Maret 2025,” beber Lala.
Sementara ahli pemohon, Aswanto dalam keterangan keahliannya mengatakan, money politic yang melibatkan ASN, aparatur desa, tergolong pada pelanggaran yang telah memenuhi unsur terstruktur.
Sementara jika melihat modus pelaksanaan money politic yang dilakukan dengan adanya daftar nama, maka hal yang sudah direncanakan. Ini menurut Aswanto sudah tergolong pada pelanggaran yang dilakukan secara sistematis.
“MK meminta dilakukan perbaikan dalam pemilihan kepala daerah melalui perintah PSU, namun ini malah terjadi money politics. Bahkan ini bisa dikatakan pertama kali terjadi jumlahnya dahsyat, yakni Rp 16 juta per suara. Oleh sebab itu, ini memenuhi unsur TSM, maka pasangan calon patut untuk didiskualifikasi,” terang Aswanto.
Topo Santoso selaku salah satu ahli yang dihadirkan pihak terkait menerangkan, terdapat perbedaan secara konseptual antara penanganan politik uang secara pidana dan administratif.
Pada tindak pidana politik uang yang penyelesaiannya diproses oleh organ organisasi kepemiluan khususnya Bawaslu provinsi, tujuannya bukan untuk membuktikan bahwa terbukti atau tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana atau kesalahan seseorang, melainkan untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran administrasi politik uang yang dilakukan secara TSM.
Topo menerangkan, penyelesaian persoalan politik uang dengan pidana berbeda dan terpisah dengan proses penyelesaian politik uang dengan administrasi pemilihan oleh Bawaslu.
Oleh karenanya, apabila perkara pidana pemilihan terdapat putusan pidana terbuktinya seseorang atau beberapa orang diduga tim dari paslon, maka dalam konteks hukum pidana hal itu merupakan pertanggungjawaban pidana individual dari terdakwa.
“Jadi tidak berkait dengan pertangungjawaban hukum dari pasangan calon. apalagi dalam putusan itu tidak ada penyertaan antara terdakwa (pelaku) dengan pasangan calon, baik dalam hal turut serta melakukan ataupun penggerakan, maka ini tidak ada hubungan pertanggungjawaban hukumnya,” jelas Topo.
Berikutnya terkait dengan implikasi putusan pidana pada hasil pemilihan, Topo memberikan pandangannya. Dikatakan jika dalam pemilihan kepala daerah terdapat dua paslon, yang kemudian di dalamnya terjadi suatu tindak pidana pemilihan politik uang yang terbukti berdasarkan putusan pengadilan, maka perlu dipahami bahwa dari sekian daftar pemilih di satu TPS tersebut, hanya ada dua pemilih yang terbukti telah menerima.
“Maka pertanyaan hukumnya, apakah fakta dalam putusan pengadilan tersebut bisa mempengaruhi kemurnian selisih suara antara dua paslon? Menurut ahli dalam proses perkara pidana pemilihan, jika seseornag dinyatakan terbutki melakukan tindak pidana politik uang dan kesalahannya terpenuhi, maka implikasinya hanya persoalan pidana dan tidak berkaitan dengan pemilihan. Pemidanaan itu tidak berakibat suara paslon menjadi hilang di TPS atau daerah yang bersangkutan. Hal ini terbukti dari sekian daftar pemilih pada PSU hanya ada dua pemilih yang terima politik uang. Sehingga fakta dalam putusan pengadilan tersebut, tidak memengaruhi kemurnian suara dari dua pasangan calon di TPS yang berjumlah 339 suara tersebut. Dengan terbuktinya politik uang di mana ada dua pemilih yang telah terima uang, maka tidak dapat menggeneralisasi atau berasumsi 339 suara di dua TPS tersebut juga terpengaruh atau tercemar dari adanya politik uang tersebut,” jelas Topo.(sp/nr)
(Andi)