BANJARMASIN – Kerumunan saat vaksinasi massal Covid-19 yang terjadi pada dua hari terakhir di Gedung Olahraga Remaja (GOR) Hasanuddin HM Banjarmasin, masih jadi sorotan.
Usai anggota DPRD Kota Banjarmasin, kritik kini juga datang dari Badan Layanan Hukum Borneo Law Firm.
Direktur Utama Advokat Borneo Law Firm, M Fazri menilai adanya ketidaksiapan dari pelaksanaan vaksinasi massal yang digelar oleh Dinas Kesehatan Pemkot Banjarmasin.
Menurutnya, pelaksanaan vaksinasi bukan untuk gagah-gagahan alias main-main. Terlebih di tengah situasi angka penularan yang masih meninggi.
Di samping itu, kegiatan ini dinilai terkesan lupa bahwa saat ini ibukota Kalsel sedang melaksanakan PPKM level 4.
Fazri menjelaskan, dalam peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, terkait pelaksanaan vaksinasi juga memuat banyak mekanisme terkait pelaksanaannya. Yang intinya betul-betul menerapkan protokol kesehatan (Prokes) ketat.
“Bahkan cara menginformasikannya pun ada. Dan mestinya, harus benar-benar diimplementasikan di lapangan. Tapi, yang sekarang ini terjadi, mekanismenya tidak dijalankan 100 persen,” ucapnya, Kamis (5/8).
Mestinya, lanjut Pazri, Banjarmasin perlu belajar dari sejumlah daerah lain. Jangan sampai nantinya kerumunan yang terjadi saat pelaksanaan vaksinasi massal justru memunculkan klaster baru.
“Ini menjadi masalah serius bila tidak dilakukan evaluasi,” tegasnya.
Selain mengkritik pelaksanaan vaksinasi yang tampak tak siap, pihaknya juga membuka ruang bagi masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan pelaksanaan vaksinasi yang selama ini dijalankan.
Pazri berjanji, ketika ada warga yang mengadu ke pihaknya, maka akan diterima. Mengingat ada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2019 tentang perbuatan melanggar hukum pemerintah.
“Tindakan pemerintah seperti ini bisa diuji ke pengadilan. Tidak main-main. Ketika ada pemberi kuasa, atau yang merasa dirugikan, akan kami tanggapi. Karena saat ini, kami juga sudah mendengar beberapa keluhan,” tambahnya.
Ambil contoh, ketika masyarakat sudah melakukan vaksinasi tahap pertama. Tapi yang terjadi, ketika hendak melakukan vaksinasi tahap kedua, vaksinnya justru kosong.
Padahal dalam uji klinis, secara penelitian vaksin itu batasnya hanya 14 hari. Meskipun ada pula yang satu bulan, baru mendapatkan vaksin dosis kedua. Tapi menurut Pazri, ketentuan yang disampaikan diawal oleh pemerintah, adalah 14 hari.
“Itu harus ditindaklanjuti dengan vaksin yang kedua. Ketika vaksin yang kedua terlambat apa yang terjadi? Tidak terbentuk antibodi. Ini menjadi permasalahan yang krusial,” jelasnya.
Persoalan lainnya, ketika dilakukan vaksinasi massal tidak ada perbedaan kelas. Baik itu yang muda hingga lansia. Di situ, mereka sama-sama mengantre, berkerumun. Pun demikian dengan ibu hamil.
“Ibu hamil disarankan untuk bervaksin tapi tidak disediakan sarana khusus. Padahal dari Kemenkes RI jelas. Yang namanya ibu hamil sangat rentan terpapar Covid-19. Ini juga harus dipikirkan. Tidak serta merta gagah-gahahan melaksanakan vaksinasi tapi berbagai implikasi perbaikan itu tidak dilakukan,” tegasnya.
“Tujuan kami bukan hendak menjatuhkan pemerintah, tapi tujuannya untuk kontrol perbaikan ke depan,” tambah Pazri.
Ia juga mengutip Instruksi Presiden, kemudian ada pula surat telegram dari Kapolri soal pelanggar prokes ketat bisa saja ditindak.
Tidak hanya masyarakat saja yang bisa ditindak. Tapi, itu juga berlaku kepada penyelenggara negara atau pemerintah.
“Jangan sampai kita selalu tegas kepada masyarakat tapi kepada pemerintah tidak tegas. Karena dalam hal ketentuan yang lain, juga kalau kita lihat dalam undang-undang karantina kesehatan ada ancamannya, ada ketentuannya,” kritiknya.
Lebih lanjut. Fazri menegaskan bahwa pihaknya bukan menakut-nakuti. Atau bertentangan dengan penyelenggara vaksinasi. Pihaknya justru mendukung. Dengan catatan, penyelenggaraannya harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh prokes ketat.
(SKI/MMO)