KOALISI Masyarakat Sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) mengajukan permohonan pengujian Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon yang tergabung dalam SIKAP terdiri dari perorangan dan organisasi, di antaranya Prof Masduki, ilustrator/pembuat karikatur Amry Al Mursalaat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, serta Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet).
Mereka mengaku ketiadaan penafsiran atau pengecualian eksplisit pada pasal-pasal yang diuji menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Menurutnya, Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP membuka tafsir yang luas dan tidak ketat yang memungkinkan hak-hak konstitusional para pemohon terancam karena tugas-tugas pekerjaannya kerap kali melibatkan pengungkapan data pribadi guna pemenuhan hak atas informasi publik.
“Rumusan Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi tidak mengakomodir kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak diberikan penafsiran,” ujar Gema Gita Persada, selaku kuasa hukum para pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025.
Pasal 65 ayat (2) UU PDP berbunyi, “Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya”.
Pasal 67 ayat (2) UU PDP berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar”.
Para pemohon menilai ketentuan dalam Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) yang tidak diberikan penjelasan memberi legitimasi terhadap pembungkaman suara-suara publik yang sah, terutama ketika digunakan tanpa ukuran yang objektif dan akuntabel.
Negara secara sepihak membatasi partisipasi warga negara dalam menyampaikan pendapat, gagasan, atau kritik terhadap kebijakan publik.
Sementara, dalam sistem demokrasi konstitusional, kedaulatan rakyat hanya dapat dijalankan secara utuh jika ekspresi politik, sosial, dan kultural warga negara dijamin secara penuh dan tidak dibatasi secara sewenang-wenang oleh norma hukum yang kabur.
Suatu norma yang tidak diberi penjelasan lebih lanjut berpotensi digunakan untuk menekan ekspresi atau pendapat yang sah secara konstitusional, yang justru menimbulkan ketakutan di masyarakat dan melemahkan iklim demokrasi.
Dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU PDP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang dilarang mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya kecuali dalam rangka kerja-kerja jurnalistik, akademik, kesenian dan kesusastraan dan/atau sepanjang berhubungan dengan terjaminnya akses informasi untuk mengembangankan pribadi dan lingkungan sosialnya”.
Serta menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PDP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “Setiap orang dilarang mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya kecuali dalam rangka kerja-kerja jurnalistik, akademik, kesenian dan kesusastraan dan/atau sepanjang berhubungan dengan terjaminnya akses informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar”.(mk/lap/ta)
(Andi)





