Lalu Lintas Wajib Penuhi Prinsip Kesetaraan dan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas

Jalur pedestrian untuk difabel.(Foto: Futake Indonesia)

MESKI Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan dalam Putusan Nomor 149/PUU-XXIII/2025 tentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Mahkamah tetap menegaskan bahwa instansi pemerintah yang berwenang di bidang lalu lintas wajib memenuhi prinsip kesetaraan, perlindungan, dan aksesibilitas bagi seluruh penyandang disabilitas.

Mahkamah menekankan kepada pemerintah untuk memfasilitasi termasuk mereka yang mengalami buta warna parsial, seperti alat pemberi isyarat yang dapat dikenali oleh individu dengan defisiensi penglihatan warna.

Bacaan Lainnya

Pemerhati transportasi Muhamad Akbar menilai bahwa keputusan MK hanyalah permulaan dari tanggung jawab yang jauh lebih besar, yaitu tindakan nyata dari pemerintah untuk penyediaan sarana lalu lintas yang aman dan inklusif.

“Putusan MK itu bukan akhir, justru awal ujian komitmen pemerintah. Apakah akan benar-benar ditindaklanjuti, atau hanya jadi catatan hukum yang dilupakan?” ujarnya.

Akbar menekankan bahwa negara tak boleh lagi mengabaikan kebutuhan penyandang disabilitas visual, sekecil apa pun bentuknya.

Ia mengingatkan bahwa konstitusi menjamin rasa aman dan perlindungan untuk semua warga negara, termasuk saat berada di jalan raya.

Menurutnya, jika putusan tersebut direspons dengan kebijakan konkret, Indonesia akan selangkah lebih maju menuju sistem transportasi yang inklusif dan manusiawi.

“Tapi kalau dibiarkan, kesetaraan hanya jadi retorika. Sementara itu, sebagian warga tetap menghadapi risiko setiap hari di jalan,” tegasnya.

Akbar menyebut bahwa semua prasyarat untuk perubahan sudah ada, yaitu sebuah payung hukum dari MK, solusi teknis yang telah terbukti di berbagai negara, dan kewenangan penuh Kementerian Perhubungan untuk merevisi regulasi.

“Yang dibutuhkan sekarang cuma kemauan politik. Itu saja,” katanya.

Salah satu solusi yang ia dorong adalah penerapan informasi ganda (redundansi informasi) pada lampu lalu lintas. Tujuannya, agar pesan yang sama bisa diterima dengan berbagai cara, tidak hanya lewat warna, tapi juga bentuk, simbol, hingga suara.

Akbar mencontohkan penggunaan simbol universal seperti lampu merah bisa dibentuk segiempat dengan tanda “X”, kuning dilengkapi ikon segitiga, atau dibuat berkedip, dan hijau diperjelas dengan panah arah.

Di titik penyeberangan, lanjutnya, bisa digunakan ikon orang berjalan atau simbol tangan terbuka, serta penambahan suara atau getaran pada tombol untuk membantu pengguna disabilitas.

“Ini bukan hal yang baru. Banyak negara sudah menerapkannya. Tinggal kemauan kita saja untuk mengejar ketertinggalan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti potensi teknologi LED dalam mewujudkan lampu lalu lintas yang inklusif. Dengan biaya yang relatif efisien, lampu modern bisa memuat beragam simbol, warna, dan pola cahaya dalam satu panel.

“Dengan teknologi yang ada sekarang, lampu lalu lintas ramah difabel bukan wacana lagi. Ini sudah jadi solusi yang realistis, dan bisa diterapkan kapan saja,” katanya.(ha-alt-nuo)

Pos terkait