MK Ungkap Perkara Tindak Pidana Korupsi Setiap Tahun Meningkat Signifikan

Save Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.(Foto: ICW)

MAHKAMAH Agung (MA), Kepolisian RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadi pihak terkait dalam sidang Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 dan 161/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001.

Ketiga lembaga ini bersama ahli dan saksi yang dihadirkan pemohon perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 menyampaikan keterangan di hadapan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Bacaan Lainnya

Kepala Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto dalam persidangan mengatakan, perkara tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang didakwa dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor, setiap tahunnya meningkat secara signifikan.

Jika dikelompokkan dari cara atau modus di dalam melakukan perbuatannya secara doktriner dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

“Sehingga menunjukkan bahwa korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara tersebut secara riil terjadi setiap tahun,” ujar Iskandar.

Dia menuturkan penambahan prasyarat dalam unsur pasal-pasal yang diuji sebagaimana kehendak pemohon akan menimbulkan ganda perbuatan yang dilarang, yakni antara melawan hukum/penyalahgunaan kewenangan dengan suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi, dalam satu pasal.

Sementara suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, serta benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi merupakan bentuk delik/tindak pidana tersendiri dalam UU Tipikor yang diancam sanksi tersendiri.

Keadaan-keadaan adanya suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, serta benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi, jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi kerugian negara atau perekonomian negara, hanyalah merupakan modus/cara sebagai bentuk atau perwujudan konkret adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam delik yang mengakibatkan adanya kerugian/perekonomian negara.

Oleh karena hanya merupakan modus/cara, maka dalam pembuktiannya tidak harus dibuktikan tersendiri sebagai unsur, melainkan sudah tercakup dalam pembuktian unsur melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya.

Selain itu, Iskandar juga mengatakan, signifikansi dan urgensi pengaturan korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara tidak hanya bersifat normatif saja, melainkan juga memiliki relevansi empiris dengan merujuk pada jumlah kerugian keuangan/perekonomian negara yang ditimbulkan serta prevalensi penanganan perkara korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara.

Ia mengutip analisis laporan-laporan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul “Tren Vonis Kasus Korupsi” tahun 2014 sampai 2023 didapatkan fakta berdasarkan riset putusan pengadilan dalam perkara korupsi, jumlah total kerugian negara yang ditimbulkan korupsi pada periode itu secara nasional mencapai lebih dari Rp 291,5 triliun.

Iskandar mengungkapkan KPK telah menangani 310 perkara tindak pidana korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sejak 2014 sampai Mei 2025.

Total jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara tipikor kerugian keuangan/perekonomian negara berdasarkan pasal-pasal tersebut yang ditangani oleh KPK pada 2018-2025 mencapai lebih dari Rp 25,1 triliun.(mk/nr)

(Andi)

Pos terkait